Selasa, 11 Maret 2014

Pilihlah Aku !



Bagas Pratomo
Redaktur Senior Suara Merdeka

Pilihlah aku dalam Pemilu mendatang. Kenapa? Karena aku sudah serius menampilkan pose foto yang paling menarik dalam poster-poster kampanyeku.  Penampilanku itu untuk membujuk kalian agar mencoblos gambarku.

Aku juga sudah menyertakan teks-teks yang mengobral berbagai janji agar kalian semakin tertarik. Bahkan berbagai gelarku juga terpajang agar semakin kelihatan bonafid di mata kalian.

Dan karena sudah keluar banyak uang untuk membuat banyak poster itu, maka aku menginginkan semua poster tersebar dan terpasang di mana-mana.

Tentu aku tidak peduli dimana dan bagaimana akan ditempelkan. Apakah memakai tonggak dari bambu, kayu, digantung di tiang listrik, ataukah dipaku di pohon-pohon peneduh pinggir jalan.

Mana aku peduli dengan protes para pecinta pohon, yang menginginkan pencopotan poster-poster yang dipaku di pohon. Justru aku heran, itu kan cuma pohon. Buatku, tujuan untuk membujuk kalian lewat poster adalah yang paling penting.

Pilihlah aku karena sudah kukeluarkan banyak uang untuk menyumbang partai yang mengusungku. Uang itu kukumpulkan dari menggadaikan sertifikat rumah, menjual tanah mertua, bahkan utang dalam jumlah besar ke bank.

Tentu saja dengan pengorbanan tadi aku betul-betul menginginkan terpilih sebagai anggota Dewan. Mengapa? Dengan menjadi anggota Dewan, modal yang sudah keluar untuk pencalonan tadi kuharapkan bisa balik, syukur-syukur jika berlebih.

Dan sepertinya bakal berlebih. Memang dari gaji saja tidak akan cukup mengembalikan modal tadi. Namun lihatlah uang yang bakal dihasilkan dari kekuasaan sebagai anggota Dewan.

Nanti bisa diatur berbagai kunjungan kerja, baik di dalam dan luar negeri. Kalau perlu jika ke luar negeri, uang saku dinaikkan sebanyak-banyaknya. Jika ada yang protes dan mengatakan ini sebagai pelesiran, gampang kujawab bahwa kita betul-betul memerlukan studi banding ini.

Tentu yang bakal mendatangkan paling banyak uang adalah kekuasaan dalam memberikan persetujuan. Kementerian-kementerian yang membutuhkan penetapan rancangan undang-undang (RUU) pasti bakal tidak sungkan-sungkan memberikan upeti.

Persetujuan untuk menjadikannya undang-undang (UU) tentu tidak gratis. Dalam istilah umum tidak ada makan siang yang gratis. Jika mereka ingin RUU itu gol menjadi UU tentu tidak murah harganya.

Pemilihan pimpinan BUMN dan petinggi institusi pemerintahan ini juga bisa menjadi sumber perolehan uang.

Para calon pimpinan BUMN dan deputi gubernur Bank Indonesia, misalnya, tentu harus merayu kami nantinya dengan jumlah yang cukup untuk membuat kami meloloskannya dalam pemilihan jabatan mereka.

Masih ada lagi. Departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah yang menginginkan persetujuan Dewan untuk bisa mengimpor komoditi strategis mestinya harus tahu diri.

Konsesi impor, apakah impor daging sapi, beras, kedelai, atau minyak, yang nantinya bakal diberikan kepada pihak swasta tentunya menyangkut uang miliaran rupiah. Keuntungan perusahaan-perusahaan swasta itu tentu banyak. Jadi wajar saja jika nanti aku juga meminta bagian dari keuntungan itu, dan yang pasti harus dibayar di muka.

Para pejabat pemerintah itulah yang harus mengatur, apakah lewat makelar, bawahan atau orang suruhan lain, agar ''jatah'' kami sampai terlebih dahulu sebelum konsesi diberikan kepada perusahaan swasta.

Tentu tidak perlu kupikirkan bahwa tindakan itu bakal menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Jika harga daging atau kedelai jadi mahal, toh aku masih bisa membelinya. Bagaimana dengan masyarakat? Ya gampang, nanti kuimbau untuk prihatin dulu, makan seadanya.

Sebagai anggota Dewan, aku juga akan menggunakan kekuasaanku untuk mengarahkan penggunaan anggaran pendapatan dan  belanja pemerintah.

Aku tentu sudah menyiapkan perusahaan-perusahaan instan sebagai pelaksana proyek-proyek pemerintah. Duduk di perusahaan itu adalah istriku, mertua, keponakan, kerabat lain, atau orang kepercayaanku.

Jadi selain melobi ke pemerintah, perusahaan-perusahaan yang dijalankan kerabatku ini juga sudah siap untuk menerima proyek.

Jika kemudian tidak mampu mengerjakannya, gampang disubkontrakkan lagi ke perusahaan lain. Tentu saja dengan nilai proyek yang serendah-rendahnya, supaya perusahaanku bisa mengambil keuntungan banyak dari bisnis rente ini.

Mengenai mutu proyek yang dibangun nanti, kan bukan tanggung jawabku lagi. Itu sudah jadi tanggung jawab perusahaan subkontrak yang melaksanakannya.

Pilihlah aku, karena diam-diam aku juga sudah melakukan berbagai ritual di beberapa tempat keramat. Untunglah kalian tidak mengetahuinya, karena pendampingku tidak terjatuh ke jurang dan meninggal.

Tindakan irasionalku tak sampai terberitakan oleh media massa seperti calon legislatif (caleg) lain itu. Masyarakat yang rasional tetap akan menganggapku sebagai caleg yang rasional.

Tentu aku tidak akan mengatakan semua hal tadi secara terbuka kepada kalian. Itu semua hanya akan tersimpan di dalam hati dan pikiranku.

Aku akan mengemas figurku sebagai yang kalian butuhkan. Janji bakal amanah dalam mengemban tugas sebagai wakil rakyat jelas akan tercantum dalam poster-poster dan kampanye nanti.

Janji-janji bakal mensejahterakan masyarakat bakal berbuih-buih keluar dari mulutku.

Penampilan dan titel haji bisa kujadikan pelengkap supaya semakin mantap kemasanku. Janji dan amanah tadi aku sendiri mungkin sangsi apakah bisa memenuhinya, namun yang penting tampil meyakinkan dulu.

Ini jamannya mencari amanah, bukan menerima amanah. Kalau tidak meyakinkan, tidak bakal dapat jatah.

Bagaimana pertanggungjawaban soal semua ini dan ritual tadi kepada Gusti Allah? Ah itu masih lama. Gampang, nanti saja. Bagaimana? Mau kan memilih aku?

Sumur Abar, 11/3/2014

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More