This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 10 Mei 2012

Perguruan Tinggi Pencetak Koruptor?



Sumur Abar - “Banyak koruptor di Indonesia adalah lulusan Perguruan Tinggi Negeri Terkenal, seperti UI, UGM dan ITB”. Demikianlah pernyataan yang disampaikan Marzuki Alie di Kampus Universitas Indonesia dalam diskusi bertajuk “Pandangan Kritis tentang Perguruan Tinggi di Indonesia.

Pernyataan Marzuki Alie tersebut mendapatkan banyak tentangan, terutama dari alumni perguran tinggi kampus yang disebut, bahkan Marzuki terancam menelan ludahnya sendiri dengan ancaman hukuman pidana akibat pernyataan kontroversinya akhirnya diajukan gugatan oleh mahasiswa program doktor UI, David Tobing, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Bagi penulis, “kasus” ini memiliki dua hal yang menarik untuk dikaji. Pertama, masalah konten pernyataan Marzuki Alie secara langsung. Dan kedua sikap yang ditunjukkan masyarakat atas pernyataan ini.
Meski pernyataan ini banyak dikecam tapi fakta berbicara bahwa alumni Perguruan Tinggi Negeri terkenal banyak yang telah mencoreng nama besar almamaternya. Namun Perguruan Tinggi tentu tidak sengaja mencetak mahasiswa dan alumninya untuk menajdi koruptor.

Sehingga secara konten pernyataan Marzuki meninggalkan beberapa catatan dalam pikiran penulis. Pertama, Perguruan Tinggi tidak ada yang mengajarkan korupsi mahasiswanya.

Perguruan Tinggi merupakan lembaga pendidikan jenjang tertinggi yang harus ditempuh oleh seorang pelajar untuk melanjutkan studi dan mendapatkan gelar sebagai seorang sarjana, magister dan doktor. Sebagai lembaga pendidikan tertinggi Perguruan Tinggi mengedepankan integritas, pendidikan karakter selain pendidikan intelektualitas dan sikap kritis. Sehingga sepanjang sejarah tidak ada Perguruan Tinggi yang “secara sengaja” memiliki sistem pendidikan dan mengajarkan mahasiswanya melakukan praktik korupsi.

Kedua, praktik korupsi tidak memiliki keterkaitan dengan lulusan almamater tertentu. Falta banyaknya alumni Perguruan Tinggi ternama di Indonesia yang mencoreng nama almamaternya bukan alasan obyektif untuk menjustifikasi bahwa Perguruan Tinggi ternama merupakan produsen koruptor karena memang dalam praktiknya Perguruan Tinggi ternama memiliki kelebihan dalam mencetak kader unggulan sehingga alumninya lebih banyak yang mampu berbicara dan mengambil peran di level nasional. Mereka mengisi pos-pos penting di pemerintahan sehingga ketika ada pejabat ada yang melakukan korupsi dan diketahui lulusan PT ternama tentu bukan hal yang aneh karna mereka memang mendominasi.


Ketiga, Praktik korupsi merupakan akibat dari kekuasaan dan kesempatan. Lemahnya sistem pemerintahan, belum tegaknya supremasi hukum, kesempatan dalam jabatan, moralitas merupakan lahan utama terjadinya tindak pidana korupsi. Karakter yang ditunjukkan oleh para aparatur pemerintahan ini menunjukkan ada yang salah dalam kepribadian mereka yang telah mengalami krisis moral. Arus pergeseran sekularisme dan globalisasi telah memisahkan agama dari pemerintahan sehingga mengakibatkan sosok non-religius yang ambisius.

Keempat, praktik demokrasi kampus justru mencetak karakter mahasiswa patuh terhadap aturan dan memperjuangkan keadilan serta kebenaran. Organisasi mahasiswa terutama organisasi pergerakan mahasisawa seperti HMI, PMII, IMM, GMNI dan KAMMI dalam praktiknya selalu mengedepankan integritas, kapabilitas dan akseptabilitas. Mereka digerakkan untuk menjadi kader penerus perjuangan bangsa, mencetak calon-calon pemimpin berkualitas dan berkarakter serta pengawal dan stake holder antara kepentingan masyarakat dengan arogansi penguasa.

Karakter ini akhirnya mewujudkan sistem demonstrasi mahasiswa yang merupakan bentuk aspirasi mereka dalam membela keberana melawan tindakan kesewenang-wenangan pejabat pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Sebuah sistem yang secara tidak langsung mampu membentuk mahasiswa peka terhadap lingkunga, kritis terhadap keadaan, menjadi problem solver terhadap masalah yang terjadi serta menjadi panutan dan harapan masyarakat terhadap kemajuan peradaban bangsa.

Pada dasarnya maraknya praktik korupsi bukanlah cerminan dari problematika dalam dunia pendidikan semata, tapi karena sistem sosial dan budaya Indonesia yang membuka peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Sensitivisme Bangsa Indonesia
Namun ada satu hal yang jauh lebih menarik dari kontrovesi pernyataan Marzuki Alie tersebut, yaitu masalah sensitivisme masyarakat Indonesia dalam menyikapi pernyataan ketua DPR dari fraksi Demokrat tersebut. Kecaman, tentangan dan bahkan aduat gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap pernyataan Marzuki menjadi sebuah cerminan kepribadian bangsa yang terkesan memiliki sensi tinggi dan tidak tahan menerima kritik.

Masalah sensitivisme memang menjadi sebuah trand mark bangsan ini, cerminan demokrasi berbasisi sensitivisme mennyebabkan masyakatnya lebih suka mengkritik daripada memberi solusi, menuntut hak daripada menjalankan kewajiban.

Penulis jadi teringat dalam sebuah acara tv stand comedy, Pandji Pragiwaksono mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang masyarakatnya terlalu sensitif, sehingga apapun terlalu banyak menjadi masalah, sehingga apapun berantem terlalu banyak kita berantem sehingga kita kehabisan waktu untuk melakukan sesuatu. Kenyataan berkata demikian, dan kasus pernyataan Marzuki dengan segala dinamikanya menunjukka hal tersebut.

Padahal sejujurnya pernyataan tersebut hanyalah pernyataan biasa yang lumrah karena dua keadaan, pertama koruptor jelas merupakan pejabat dan kedua, pejabat yang mengisi mayoritas adalah orang-orang terdidik lulusan Perguruan Tinggi ternama di Indonesia seperti UI, UGM dan sebagainya.

Sehingga seharusnya kritikan ini tidak menimbulkan rasa sensi terutama bagi para almuni Perguruan Tinggi tertentu, justru seharusnya menjadi cerminan dan motivasi Perguruan Tinggi, alumni, dan masyarakat luas untuk menunjukkan karakter baik yang sebenarnya. Bagi Perguruan Tinggi seharusnya kritikan menjadi cambuk untuk memperbaiki sistem pendidikan, memperhatikan esensi pendidikan dengan membekali dan mengedepankan perpaduan intelektual, kapabilitas, karakter dan moralitas sebagai modal menjadi pemimpin bangsa ke depan. Bagi alumni ini menjadi cambuk agar jangan sampai menodai almamaternya sendiri.

Bukankah PT merupakan pabrik pencetak manusia intelektual dan berkarakter? Dan mahasiswa (alumni) merupakan kalangan terdidik yang menempati posisi tinggi serta menjadi panutan dalam masyarakat? Jadi, penulis sepakat dengan apa yang diucapkan Kemendinas, malu dong orang-orang terdidik, sekolah tinggi-tinggi kok korupsi?

Sumur Abar, 10/5/2012

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More