This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 17 Maret 2013

LOUISE BRAILLE : The Boy Who Invented Books For The Blind

Sumur Abar - Louis Braille adalah anak Simon Braille, pembuat pakaian kuda terkenal. Louis lahir 4 Januari 1809 di Coupvray, sebuah desa di Prancis. Sejak menjadi buta di usia tiga tahun akibat kecelakan di bengkel kerja ayahnya, semua menjadi tidak mudah bagi Louis. Kala itu sangat sedikit yang bisa dilakukan orang-orang buta di Prancis. Sebagian besar hanya menjadi pengemis. Pada awalnya orang tua Louis pun sangat kasihan kepada anak mereka yang buta. Mereka cenderung melindungi secara berlebihan, bahkan memanjakan. Namun, kemudian mereka berpikir, Louis harus tumbuh seperti anak-anak lain. Mereka tidak ingin Louis seperti anak-anak buta lain yang takut melakukan apa pun. Pelajaran Orang Tua Louis Kesadaran untuk membuat Louis bisa seperti anak-anak bermata awas pun mulai diwujudkan. Mereka mulai mengajari Louis mengenali lingkungan rumahnya, hingga tidak lagi menabrak benda-benda ketika berjalan. Ayahnya mengajarinya bekerja menghaluskan kulit di bengkel. Louis memang tidak dapat melihat, tapi dia bisa merasakan kehalusan kulit dengan jarinya. Begitu pula ibunya. Setiap malam, Louis membantu ibunya menyiapkan meja sebelum makan malam. Louis tahu benar di mana harus meletakkan piring, mangkuk, dan gelas. Louis juga harus pergi ke sumur mengambil air untuk minum dengan ember melalui jalan kecil berbatu. Sering air di embernya tumpah karena ia tersandung batu-batu. Namun, Louis tetap harus kembali dengan ember berisi air. Ayahnya lalu membuatkan tongkat dan mengajari Louis mengunakannya. Louis mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah di hadapannya ketika berjalan. Dan, jika ujung tongkat menabrak sesuatu, tahulah ia, saatnya untuk berhenti dan minggir atau berjalan di sampingnya. Dalam perkembangannya, Louis juga berhasil menemukan cara sendiri agar tidak menabrak saat berjalan, yaitu dengan bernyanyi atau bersenandung. Dengan bersuara, Louis dapat merasakan jika ada benda-benda di hadapannya, dinding, pintu, atau lemari; gema suaranya akan terpantul kembali lebih cepat jika ada benda-benda di hadapannya. Ia belajar dari apa yang dilakukan kelelawar. Meski tidak dapat melihat dengan jelas, kelelawar dapat terbang di malam gelap karena terbang sambil bersuara. Begitu juga halnya dengan cara Louis mengenali lingkungan di sekitarnya. Ia senantiasa bisa menemukan cara untuk membuat dirinya semakin hari kian pandai mengenali dan membedakan; suara orang-orang, langkah kaki kuda, dan lain-lain. Ia hidup dengan mengandalkan tanda-tanda yang dia tetapkan sendiri. Ini semua tidak lepas dari peran orang tua yang sedini mungkin mengajarkan pada Louis segala hal yang dilakukan orang-orang yang tidak buta. Namun, Louis harus melakukannya dengan cara yang sedikit berbeda. Pendeta lalu mencoba menitipkan Louis belajar di satu-satunya sekolah di Coupvray. Semula Louis bisa mengikuti semua pelajaran dengan baik, dengan cara mendengarkan. Louis pun senang karena bisa bersekolah. Namun, saat guru meminta murid-murid “membuka buku”, Louis sedih, karena tak ada yang bisa ia lakukan. Sesekali ia meraba-raba saja buku temannya, tapi tak ada yang bisa ia baca di sana. Untuk mengatasinya, kadang Louis meminta teman-temannya membacakan buku untuknya. Tentu saja ini sangat tergantung pada kesediaan mereka meluangkan waktu. Di saat seperti ini, satu-satunya yang Louis pikirkan adalah betapa menyenangkan jika dapat membaca buku sendiri. Keinginan dan kesadaran akan pentingnya menulis dan membaca terus menuntun Louis, hingga saat Pendeta Palluy berhasil membantu menemukan The Royal Institute Of Blind Youth, sekolah untuk tunanetra di Paris. Sekolah ini kemudian menjadi tempat Louis belajar dan bekerja, serta menciptakan alfabet berbentuk titik-titik timbul untuk para tunanetra. Keberhasilan Louis memang tak bisa dilepaskan dari dukungan orang-orang di sekitarnya. Orang tua, pemuka agama di desanya, guru, serta teman-temannya saat bersekolah di Coupvray dan di Paris, teman sesama guru dan kepala sekolah sebagai pemimpinnnya saat telah bekerja, para pemuka masyarakat yang peduli pada pendidikan anak-anak tunanetra, dan yang merupakan keharusan adalah dukungan pemerintah Prancis dengan mengakui huruf Braille ciptaan Louis secara resmi. Itu semua bisa terjadi karena Louis juga menunjukkan keinginan luar biasa untuk mencapai kemajuan, bahkan membuat perubahan. Louis mengerti benar apa yang orang-orang buta pada umumnya butuhkan, dan ia berjuang untuk mewujudkannya. Ia terus mencoba dan berusaha. Bahkan, tidak putus asa meski semua buku hasil tulisan tangannya sempat dimusnahkan. Rasa sedih, marah, dan kecewa karena tidak atau belum mendapatkan tanggapan yang diinginkan juga sering dirasakannya. Namun, keinginannya agar tunanetra di seluruh dunia dapat menulis dan membaca buku sehingga dapat menjadi orang-orang yang berpendidikan, mengalahkan segala perasaan yang tidak menyenangkan itu. Bahkan, rasa sakit akibat tuberculosis pun tak menghentikannya untuk terus melangkah. Kini, 185 tahun setelah Louis Braille menciptakan huruf Braille, cita-citanya masih belum sepenuhnya tercapai. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, masih banyak anak tunanetra belum bersekolah saat usia mereka sudah memasuki masa duduk di kelas. Mereka belum mengenal huruf, apalagi membaca. Mereka yang sudah dapat membaca pun masih belum dicukupi dengan buku-buku yang diperlukan. Masih dibutuhkan ratusan Louis Braille, ribuan Pendeta Palluy, Dr Pignier, Joseph Gaudet, bahkan orang seperti Dufau, di seluruh penjuru bumi. Louis Braille telah memberikan teladan kepada kita semua bahwa diperlukan kerja sama untuk mewujudkan impian. Di era dengan dukungan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, seharusnyalah upaya meneruskan perjuangan Louis Braille agar para tunanetra dapat menjadi manusia berpendidikan bukanlah hal yang terlalu sulit. Diperlukan upaya bersama, kegigihan, ketekunan, serta komitmen dan konsistensi semua pihak, seperti yang dicontohkan Louis Braille. Sumur Abar, 17 Maret 2013

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More