Sumur Abar - Jika Anda adalah seorang yang dewasa dan hidup di
zaman modern ini, terlebih Anda sudah terbiasa dekat dengan kendaraan bermotor
roda dua dan jalan raya, Anda pasti akan sangat familier dengan kendaraan
bermotor roda dua yang bermerek Honda. Bahkan saking familiernya, jika Anda
hidup di pulau Jawa, terutama Jawa Timur, orang-orang desa kebanyakan menyebut
sepeda motor dengan sebutan Honda, karena merek inilah yang paling mereka
kenal.
Merek kendaran ini memang selalu menyesaki padatnya
lalu lintas, karena itu barangkali memang layak disebut sebagai raja jalanan.
Namun, pernahkah Anda tahu, sang pendiri kerajaan bisnis Honda, Soichiro Honda,
selalu diliputi kegagalan saat menjalani kehidupannya sejak kecil hingga
berbuah lahirnya imperium bisnis mendunia itu. Dia bahkan tidak pernah bisa
menyandang gelar insinyur. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di
kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru.
Saat
merintis bisnisnya, Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh
sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah. Namun, ia terus bermimpi dan
bermimpi. Dan, impian itu akhirnya terjelma dengan bekal ketekunan dan kerja
keras. ''Nilaiku jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya
di sekitar mesin, motor dan sepeda,'' tutur Soichiro, yang meninggal pada usia
84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengidap lever.
Kecintaannya kepada mesin, jelas diwarisi dari ayahnya yang membuka bengkel
reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah. Di kawasan
inilah dia lahir.
Kala sering bermain di bengkel, ayahnya selalu memberi catut
(kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan
padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di situ, lelaki
kelahiran 17 November 1906 ini dapat berdiam diri berjam-jam. Tak seperti kawan
sebayanya kala itu yang lebih banyak menghabiskan waktu bermain penuh suka
cita. Dia memang menunjukkan keunikan sejak awal. Seperti misalnya kegiatan
nekad yang dipilihnya pada usia 8 tahun dengan bersepeda sejauh 10 mil. Itu
dilakukan hanya karena ingin menyaksikan pesawat terbang.
Bersepada memang
menjadi salah satu hobinya kala kanak-kanak. Dan buahnya, ketika 12 tahun,
Soichiro Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki.
Sampai saat itu, di benaknya belum muncul impian menjadi usahawan otomotif,
karena dia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak
tampan, sehingga membuatnya selalu rendah diri.
Di usia 15 tahun, Honda hijrah
ke kota untuk bekerja di Hart Shokai Company. Bossnya, Saka Kibara, sangat
senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap
suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya.
Enam tahun bekerja di situ, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya,
pada usia 21 tahun, Saka Kibara mengusulkan membuka suatu kantor cabang di
Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya. Di Hamamatsu, prestasi kerjanya kian
membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya
pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu,
jam kerjanya tak jarang hingga larut malam, dan terkadang sampai Subuh.
Yang
menarik, walau terus kerja lembur otak jeniusnya tetap kreatif. Kejeniusannya
membuahkan fenomena. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga
tidak baik untuk kepentingan meredam goncangan. Menyadari ini, Soichiro punya
gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luar biasa.
Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Pada usia 30
tahun, Honda menandatangani patennya yang pertama.
Setelah menciptakan ruji.
Lalu Honda pun ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel
sendiri. Mulai saat itu dia berpikir, spesialis apa yang dipilih ? Otaknya
tertuju kepada pembuatan ring piston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri
pada 1938. Lalu, ditawarkannya karya itu ke sejumlah pabrikan otomotif. Sayang,
karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring
Piston buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi
teman-temannya terhadap kegagalan itu dan menyesalkan dirinya keluar dari
bengkel milik Saka Kibara. Akibat kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius.
Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya.
Tapi, soal ring pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia
kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah
pulang kuliah, dia langsung ke bengkel mempraktekkan pengetahuan yang baru
diperoleh. Tetapi, setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan
karena jarang mengikuti kuliah. ''Saya merasa sekarat, karena ketika lapar
tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum
makanan dan pengaruhnya,'' ujar Honda, yang diusia mudanya gandrung balap
mobil. Kepada rektornya, ia jelaskan kuliahnya bukan mencari ijazah. Melainkan
pengetahuan.
Penjelasan ini justru dianggap penghinaan. Tapi dikeluarkan dari
perguruan tinggi bukan akhir segalanya. Berkat kerja kerasnya, desain ring
pinston-nya diterima pihak Toyota yang langsung memberikan kontrak. Ini membawa
Honda berniat mendirikan pabrik. Impiannya untuk mendirikan pabrik mesinpun
serasa kian dekat di pelupuk mata. Tetapi malangnya, niatan itu kandas. Jepang,
karena siap perang, tidak memberikan dana kepada masyarakat. Bukan Honda kalau
menghadapi kegagalan lalu menyerah pasrah. Dia lalu nekad mengumpulkan modal
dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Namun lagi-lagi musibah datang.
Setelah perang meletus, pabriknya terbakar, bahkan hingga dua kali kejadian itu
menimpanya. Honda tidak pernah patah semangat. Dia bergegas mengumpulkan
karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang
oleh kapal Amerika Serikat, untuk digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik.
Penderitaan sepertinya belum akan selesai. Tanpa diduga, gempa bumi meletus
menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik ring pinstonnya ke
Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal.
Akhirnya, tahun 1947, setelah perang, Jepang kekurangan bensin. Di sini kondisi
ekonomi Jepang porak poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya
akibat krisis moneter itu. Padahal dia ingin menjual mobil itu untuk membeli
makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia lalu kembali bermain-main
dengan sepeda pancalnya. Karena memang nafasnya selalu berbau rekayasa mesin,
dia pun memasang motor kecil pada sepeda itu.
Siapa sangka, sepeda motor--
cikal bakal lahirnya mobil Honda -- itu diminati oleh para tetangga. Jadilah
dia memproduksi sepeda bermotor itu. Para tetangga dan kerabatnya
berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok. Lalu Honda kembali
mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya.
Motor Honda berikut mobilnya, menjadi raja jalanan dunia, termasuk Indonesia.
Semasa hidup Honda selalu menyatakan, jangan dulu melihat keberhasilanya dalam
menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang
dialaminya. “Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. tapi, mereka
tidak melihat 99 persen kegagalan saya,” tuturnya. Ia memberikan petuah,
“Ketika Anda mengalami kegagalan, maka segeralah mulai kembali bermimpi. dan
mimpikanlah mimpi baru.'' Jelas kisah Honda ini merupakan contoh, bahwa sukses
itu bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, dan
hanya berasal dari keluarga miskin.
Sumur Abar, 19/2/2012.