This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 17 Agustus 2011

CHAIRUL TANJUNG : Si Anak Singkong yang Masuk Jajaran Orang Terkaya di Indonesia

Sumur Abar - Kisah Hidup Chairul Tanjung telah ditulis dalam sebuah buku yang berjudul “si anak singkong” buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup chairul tanjung dari kecil hingga sukses seperti saat ini. Buku setebal 360 halaman yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK) ini disusun oleh wartawan Kompas Tjahja Gunawan Adiredja. Buku ini diberi kata pengantar oleh Jakob Oetama, Pendiri dan Pemimpin Umum Harian Kompas, Chairul Tanjung, adalah pemilik beberapa perusahaan besar seperti stasiun televisi swasta (Trans TV), Trans Studio, hotel, bank, dan terakhir kabarnya menjadi salah salah satu pembeli 10% saham perusahaan penerbangan papan atas Indonesia (Garuda). Chairul Tanjung kecil melalui hari-hari penuh keceriaan sebagai anak pinggiran kota Metropolitan. Bermain bersama teman-teman dengan membuat pisau dari paku yang digilaskan di roda rel dekat rumahnya di Kemayoran, adalah kegiatan seru yang menyenangkan. Juga bersepeda beramai-ramai di akhir pekan ke kawasan Ancol, sambil jajan penganan murah, buah lontar. Kelas 1 hingga kelas 2 SD sekolah diantar jemput oleh Kak Ana, seorang sanak keluarga dari Sibolga, dengan naik oplet. Selanjutnya kelas 3 SD sudah bisa pulang-pergi sekolah sendiri. Saat usia SMP, Abdul Gafar Tanjung, ayah Chairul Tanjung, yang saat itu telah mempunyai percetakan, koran, transportasi dan lainnya harus gulung tikar dan dinyatakan pailit oleh pemerintah karena idealismenya yang bertentangan dengan pemerintah yang berkuasa saat itu (Soeharto). Sang ayah adalah Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Ranting Sawah Besar. Semua koran Bapaknya dibredel. Semua aset dijual hingga tak memiliki rumah satu pun. Mungkin demi gengsi, di awal-awal, ayahnya menyewa sebuah losmen di kawasan Kramat Raya, Jakarta untuk tinggal mereka sekeluarga. Hanya satu kamar, dengan kamar mandi di luar yang kemudian dihuni 8 orang. Kedua orang tua Chairul, dan 6 orang anaknya, termasuk Chairul sendiri. Tidak kuat terus-menerus membayar sewa losmen, mereka kemudian memutuskan pindah ke daerah Gang Abu, Batutulis. Salah satu kantong kemiskinan di Jakarta waktu itu. Rumah tersebut adalah rumah nenek Chairul, dari ibundanya, Halimah. Ibunya adalah sosok yang jarang sekali mengeluhkan kondisi, sesulit apapun keadaan keluarga. Namun saat itu, Chairul melihat raut wajah ibunya sendu, tidak ceria dan tampak lelah. Setelah ditanya, lebih tepatnya didesak Chairul, Ibunya baru berucap : ”Kamu punya sedikit uang, Rul? Uang ibu sudah habis dan untuk belanja nanti pagi sudah tidak ada lagi. Sama sekali tidak ada”. Menunggu Bapak Pulang demi Zakat Fitrah Dikisahkan sebuah kisah mengharukan. Suatu hari malam takbiran saat Chairul Tanjung masih kelas dua SMP, was-was menunggu ayahnya yang belum juga pulang. Ia menunggu di ujung gang dengan berharap ayahnya kali ini membawa uang untuk zakat fitrah untuk keperluan sekeluarga. Nanar melihat euforia malam takbiran. Teman-teman sebaya sudah bergembira, beberapa di antaranya bahkan menyewa becak keliling kota. Beberapa kali air matanya sempat menetes, sangat sesak rasanya. Ada tetangga yang memperhatikan dan sempat akan memberi zakat, ia tolak. ”Ya Allah, kami masih kuat berdiri. Meski tidak punya uang, kami masih mampu mencari,” pikirnya. Hingga akhirnya saat menjelang shalat Id, sang ayah pulang dan memberi sejumlah uang untuk membayar zakat untuk sekeluarga. Pukul 03.30 pagi, Chairul Tanjung membangunkan pengurus masjid yang tengah lelap dalam tidurnya dan menyerahkan uang itu. Ia pun langsung bergegas ke masjid untuk shalat Id meski tanpa pakaian baru seperti teman-teman lainnya. Ia pun merasa lega setelah kewajibannya tuntas. Tidak ikut Study Tour ke Yogyakarta Kelas 3 SMP sebagaimana yang dilakukan di banyak sekolah, diselenggarakan acara study tour yang pengumumannya 2 bulan sebelum keberangkatan. Ayah Chairul Tanjung saat itu mengelola perusahaan transportasi milik kawannya, sehingga otomatis Chairul mengetahui proses kerja penanganan wisata. Maka ia pun dipercaya sebagai koordinator transportasi untuk acara study tour sekolahnya ke Yogya tersebut. Namun sampai tiba waktunya, ibunya tidak mempunyai cukup uang untuk membayar biaya study tour senilai Rp. 15.000,- sehingga dengan alasan ada kepentingan keluarga, Chairul tidak ikut berangkat dalam acara yang bahkan ia sendiri yang sibuk mengurus berbagai persiapan. Ia mengerjakan tugasnya sebagai koordinator dengan seksama dan melepas kepergian teman-temannya di halaman sekolah, dengan perasaan sakit yang disembunyikan serapat mungkin. Menggadaikan Kain Halus Ibu sebagai Biaya Kuliah Mendaftar di perguruan tinggi negeri adalah satu-satunya pilihan untuk bisa kuliah saat itu, karena belum banyak pilihan untuk melanjutkan di universitas swasta. Jika pun ada, biayanya sangat tinggi. Jadi jika tidak diterima di negeri, alamat jalan untuk melanjutkan pendidikan tertutup sudah. Tidak mungkin keluarganya dapat membayar biaya kuliah di perguruan tinggi swasta, apalagi semua anak-anaknya masih dalam masa pendidikan. Maka, adalah sebuah kebahagiaan yang tak terkira saat melihat nama Chairul Tanjung termasuk di antara daftar siswa yang dinyatakan lulus UMPTN. Pulang dari tempat pengumuman di Parkir Timur Senayan, Chairul mengabarkan pada orang tuanya bahwa ia diterima di FKG. Sebuah kabar bahagia tentunya, disertai pemberitahuan lain berupa biaya kuliah di FKG-UI. Total Rp. 75.000,- yang rinciannya adalah Rp. 45.000 untuk biaya kuliah, dan 30.000 untuk biaya administrasi, uang jaket dsb. Ibunya meminta waktu beberapa hari untuk menyiapkannya. Dan sesuai janji, beberapa hari kemudian Ibunya tersenyum sambil memberikan uang yang yang diperlukan. Maka tahun 1981 Chairul Tanjung tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Minggu awal masuk kuliah, Chairul didaulat menjadi Ketua Angkatan Mahasiswa FKG-UI, atau mendapat julukan Jendral Angkatan. Bisa jadi karena postur tubuhnya yang tinggi besar, dan tentu karena pengalaman berorganisasi dari SMP dan SMA yang telah dijalankannya. Berinteraksi dengan para sahabat baru di kampus adalah hal baru yang menyenangkan tentunya. Meski mengaku sering makan di kantin CM ”Cepek Murah” Warung Toyib dengan nasi setengah porsi, sayur, tempe/tahu, semua terasa nikmat dan membuatnya bahagia. Hingga suatu sore, ibunya, Ibu Halimah yang di kalangan tetangga dekat biasa dipanggil Mpok Limah, asli Cilandak, Sukabumi, Jawa Barat, berkata dengan terus terang kepadanya. Bahwa untuk ongkos kuliah ibunya harus pontang-panting mendapatkan uang. Dengan air mata, ibunya menatap sang anak sambil berucap ”Chairul, uang kuliah pertamamu yang ibu berikan beberapa hari yang lalu ibu dapatkan dari menggadaikan kain halus ibu. Belajarlah dengan serius, Nak.” Mendengar itu, bumi tempatnya berpijak seolah berhenti berotasi, ia lemas seperti tanpa darah. Bisa dibayangkan, baru menikmati keceriaan bertemu teman-teman baru, tiba-tiba mendengar berita menyedihkan itu. Chairul mengaku terpukul, shock. Bukan untuk putus asa dan menyerah terhadap keadaan, namun sebaliknya. Dari situlah ia bertekad untuk tidak meminta uang lagi kepada orang tuanya. Ia harus bisa memenuhi semua keperluan kuliah dengan usahanya sendiri. Lima Belas Ribu Pertama dalam Hidup Chairul Di FKG-UI banyak sekali praktikum, dari membuat gigi palsu menggunakan wax ( lilin), gipsum, dsb. Ada buku praktikum sekitar 20 halaman yang harus diperbanyak ( difotocopy) oleh mahasiswa sebagai pedoman wajib. Di lingkungan Salemba Raya, bertebaran tukang foto kopi dengan ongkos per lembar Rp. 25,- sehingga diperlukan total Rp. 500,- untuk mendapatkan buku tersebut. Chairul mempunyai teman SMP yang orang tuanya memiliki usaha percetakan di Jl. Bango V No. 5, Senen. Namanya Bravo Printing. Usaha percetakan milik Pak Surya itu dijalankan oleh Pak Surya sendiri beserta anak-anaknya Toni, Hardi Surya, Beni ( teman Chairul). Maka Chairul datang ke percetakan itu meminta tolong pada Hardi Surya ( kakak kelas Chairul di SMP juga ), dan disanggupi dikerjakan dengan harga Rp 150. Dikerjakan dulu, dibayar setelah selesai. Maka, peluang usaha mulai dilihatnya. Esoknya, Chairul menawarkan jasa cetak diktat dengan harga Rp.300, lebih hemat tentunya dibanding harga pasar yang Rp. 500,-. Singkat cerita, ada 100 orang temannya yang mendaftar mencetak di Chairul, dan otomatis ia mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 15.000,- Sebuah keuntungan yang diperoleh dengan proses sangat mdah, dengan hanya berbekal jaringan dan kepercayaan. Uang keuntungan usaha yang baru pertama kali diterimanya sebesar 15.000 itu dirasakan Chairul sebagai momentum pembangkit kepercayaan diri selanjutnya. Puluhan ribu berikutnya, ratusan ribu dan jutaan berikutnya bukan perkara sulit jika semangat dan kepercayaan bisa terus dijaga. Sejak itu hidupnya terasa lebih mudah. Dari 15.000 itu kemudian ia terkenal ke seantero kampus sebagai pengganda diktat yang murah. Awalnya ia mendapat tempat fotocopy murah di daerah Grogol ( Rp. 15,-/lembar dan karena memberi order banyak didiscount menjadi Rp.12,5/lembar). Dosen dan teman-teman lintas jurusan kerap menitipkan fotocopy padanya. Praktis nyaris tiap hari ia mondar-mandir Grogol-Salemba dengan bajaj mengangkut diktat-diktat yang difotocopy dibantu beberapa orang sahabatnya. Berikutnya karena merasa lama-lama kerepotan mondar-mandir sementara iapun harus mengikuti jam perkuliahan dan menjalankan berbagai praktikum, ia mengajukan permohonan memanfaatkan ruang kosong di bawah tangga untuk menempatkan mesin foto copy. Berkat hubungan baik dengan hampir semua dosen, karyawan bahkan rektor UI, izin itu mudah didapatkan. Lalu Chairul meminta pemilik mesin fotocopy itu membuka counter di bawah tangga di fakultasnya di Salemba. Ia mendapat marketing fee sebesar Rp.2,5,-/lembar. Dan setiap sore, Chairul tinggal datang ke tempat fotocopyan sambil meminta setoran layaknya bos. Demikianlah naluri bisnisnya kian terasah. Dari mulai usaha fotocopy, merambah ke bisnis alat-alat kesehatan sebagai salah satu kebutuhan pokok mahasiswa kedokteran gigi. Lalu masuk mencoba bisnis di luar kampus meski diakhiri cerita kebangkutan dengan ditutup tokonya. Namun bangkit lagi dengan usaha jual-beli mobil bekas, bengkel reparasi mobil, kontraktor kecil-kecilan, dan lainnya. Tahun 1984, di masa kuliah tahun ke 4 (usia 22 tahun) Chairul telah berhasil membeli mobil Honda Civic warna coklat keluaran tahun 1976 seharga 3,6 juta. Dan tahun 1986 berganti Honda Accord keluaran tahun 1981. Perolehan itu menunjukkan bahwa ia telah berhasil mewujudkan tekadnya untuk tidak meminta biaya kuliah pada orang tuanya, sekaligus juga telah mulai menuai hasil usahanya dengan kerja keras dan kerja cerdas tersebut. Sebuah prestasi yang membanggakan setiap orang tua tentunya. Ia terus tekun menjalankan usahanya, ia juga paralel dengan aktif di berbagai kegiatan organisasi kampus dan aktifitas sosial. Semua dijalankan secara seimbang dan bersamaan. Hingga di usia dewasa Chairul terus memperluas jalinan silaturahim ke berbagai kalangan, berani mempelajari aneka bisnis baru dan mencari jalan untuk menjalankan dengan sebaik-baiknya. Gabungan antara kerja keras, menjaga kepercayaan, mengedepankan kejujuran dan etika bisnis, tak pernah berhenti belajar dan disertai dengan doa terbaik tentunya. Saat ini, dalam beberapa waktu lalu, koran Jawa Pos edisi Desember 2013 memberitakan bahwa kekayaan Chairul Tanjung bahkan telah masuk dalam empat besar di Indonesia. Sebuah pencapaian yang terlihat mustahil bagi seorang anak miskin yang pernah tak sanggup membayar uang study tour. Sumur Abar, 17/8/2011

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More