Bagas Pratomo
Redaktur Senior Suara Merdeka
Pilihlah aku dalam Pemilu mendatang. Kenapa? Karena
aku sudah serius menampilkan pose foto yang paling menarik dalam poster-poster
kampanyeku. Penampilanku itu untuk
membujuk kalian agar mencoblos gambarku.
Aku juga sudah menyertakan teks-teks yang mengobral
berbagai janji agar kalian semakin tertarik. Bahkan berbagai gelarku juga
terpajang agar semakin kelihatan bonafid di mata kalian.
Dan karena sudah keluar banyak uang untuk membuat
banyak poster itu, maka aku menginginkan semua poster tersebar dan terpasang di
mana-mana.
Tentu aku tidak peduli dimana dan bagaimana akan
ditempelkan. Apakah memakai tonggak dari bambu, kayu, digantung di tiang
listrik, ataukah dipaku di pohon-pohon peneduh pinggir jalan.
Mana aku peduli dengan protes para pecinta pohon, yang
menginginkan pencopotan poster-poster yang dipaku di pohon. Justru aku heran,
itu kan cuma pohon. Buatku, tujuan untuk membujuk kalian lewat poster adalah
yang paling penting.
Pilihlah aku karena sudah kukeluarkan banyak uang
untuk menyumbang partai yang mengusungku. Uang itu kukumpulkan dari
menggadaikan sertifikat rumah, menjual tanah mertua, bahkan utang dalam jumlah
besar ke bank.
Tentu saja dengan pengorbanan tadi aku betul-betul
menginginkan terpilih sebagai anggota Dewan. Mengapa? Dengan menjadi anggota
Dewan, modal yang sudah keluar untuk pencalonan tadi kuharapkan bisa balik,
syukur-syukur jika berlebih.
Dan sepertinya bakal berlebih. Memang dari gaji saja
tidak akan cukup mengembalikan modal tadi. Namun lihatlah uang yang bakal
dihasilkan dari kekuasaan sebagai anggota Dewan.
Nanti bisa diatur berbagai kunjungan kerja, baik di
dalam dan luar negeri. Kalau perlu jika ke luar negeri, uang saku dinaikkan
sebanyak-banyaknya. Jika ada yang protes dan mengatakan ini sebagai pelesiran,
gampang kujawab bahwa kita betul-betul memerlukan studi banding ini.
Tentu yang bakal mendatangkan paling banyak uang
adalah kekuasaan dalam memberikan persetujuan. Kementerian-kementerian yang
membutuhkan penetapan rancangan undang-undang (RUU) pasti bakal tidak
sungkan-sungkan memberikan upeti.
Persetujuan untuk menjadikannya undang-undang (UU)
tentu tidak gratis. Dalam istilah umum tidak ada makan siang yang gratis. Jika
mereka ingin RUU itu gol menjadi UU tentu tidak murah harganya.
Pemilihan pimpinan BUMN dan petinggi institusi
pemerintahan ini juga bisa menjadi sumber perolehan uang.
Para calon pimpinan BUMN dan deputi gubernur Bank
Indonesia, misalnya, tentu harus merayu kami nantinya dengan jumlah yang cukup
untuk membuat kami meloloskannya dalam pemilihan jabatan mereka.
Masih ada lagi. Departemen-departemen dan
lembaga-lembaga pemerintah yang menginginkan persetujuan Dewan untuk bisa
mengimpor komoditi strategis mestinya harus tahu diri.
Konsesi impor, apakah impor daging sapi, beras,
kedelai, atau minyak, yang nantinya bakal diberikan kepada pihak swasta
tentunya menyangkut uang miliaran rupiah. Keuntungan perusahaan-perusahaan
swasta itu tentu banyak. Jadi wajar saja jika nanti aku juga meminta bagian
dari keuntungan itu, dan yang pasti harus dibayar di muka.
Para pejabat pemerintah itulah yang harus mengatur,
apakah lewat makelar, bawahan atau orang suruhan lain, agar ''jatah'' kami
sampai terlebih dahulu sebelum konsesi diberikan kepada perusahaan swasta.
Tentu tidak perlu kupikirkan bahwa tindakan itu bakal
menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Jika harga daging atau kedelai jadi mahal,
toh aku masih bisa membelinya. Bagaimana dengan masyarakat? Ya gampang, nanti
kuimbau untuk prihatin dulu, makan seadanya.
Sebagai anggota Dewan, aku juga akan menggunakan
kekuasaanku untuk mengarahkan penggunaan anggaran pendapatan dan belanja pemerintah.
Aku tentu sudah menyiapkan perusahaan-perusahaan
instan sebagai pelaksana proyek-proyek pemerintah. Duduk di perusahaan itu
adalah istriku, mertua, keponakan, kerabat lain, atau orang kepercayaanku.
Jadi selain melobi ke pemerintah,
perusahaan-perusahaan yang dijalankan kerabatku ini juga sudah siap untuk
menerima proyek.
Jika kemudian tidak mampu mengerjakannya, gampang
disubkontrakkan lagi ke perusahaan lain. Tentu saja dengan nilai proyek yang
serendah-rendahnya, supaya perusahaanku bisa mengambil keuntungan banyak dari
bisnis rente ini.
Mengenai mutu proyek yang dibangun nanti, kan bukan
tanggung jawabku lagi. Itu sudah jadi tanggung jawab perusahaan subkontrak yang
melaksanakannya.
Pilihlah aku, karena diam-diam aku juga sudah
melakukan berbagai ritual di beberapa tempat keramat. Untunglah kalian tidak
mengetahuinya, karena pendampingku tidak terjatuh ke jurang dan meninggal.
Tindakan irasionalku tak sampai terberitakan oleh
media massa seperti calon legislatif (caleg) lain itu. Masyarakat yang rasional
tetap akan menganggapku sebagai caleg yang rasional.
Tentu aku tidak akan mengatakan semua hal tadi secara
terbuka kepada kalian. Itu semua hanya akan tersimpan di dalam hati dan
pikiranku.
Aku akan mengemas figurku sebagai yang kalian
butuhkan. Janji bakal amanah dalam mengemban tugas sebagai wakil rakyat jelas
akan tercantum dalam poster-poster dan kampanye nanti.
Janji-janji bakal mensejahterakan masyarakat bakal
berbuih-buih keluar dari mulutku.
Penampilan dan titel haji bisa kujadikan pelengkap
supaya semakin mantap kemasanku. Janji dan amanah tadi aku sendiri mungkin
sangsi apakah bisa memenuhinya, namun yang penting tampil meyakinkan dulu.
Ini jamannya mencari amanah, bukan menerima amanah. Kalau
tidak meyakinkan, tidak bakal dapat jatah.
Bagaimana pertanggungjawaban soal semua ini dan ritual
tadi kepada Gusti Allah? Ah itu masih lama. Gampang, nanti saja. Bagaimana? Mau
kan memilih aku?
Sumur Abar, 11/3/2014