This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 12 Desember 2013

KALAU GAGAL, JANGAN COBA LAGI

Sumur Abar - Mungkin pembaca merasa heran dengan judul di atas, dalam mindset yang kita pahami, apabila Anda gagal dalam mencapai suatu keinginan atau target, maka teruslah mencoba dan mencoba. Jangan pernah berhenti mencoba sebelum tercapai target tersebut. Namun justru, berjuang dan mencoba terus tanpa henti hanya akan membuat usaha Anda sia-sia. Ini tentang cara. Seperti kisah Thomas Alfa Edison. Ketika Thomas Alfa Edison diundang untuk berbicara di sebuah pertemuan para ilmuwan dan bangsawan di Inggris, ia mendapat pertanyaan dari seorang bangsawan yang sedikit menyindirnya “Hai Thomas, kudengar engkau gagal sampai 1448 kali dalam mengadakan uji coba untuk menemukan bola lampu listrik ya?” kata bangsawan itu pada Thomas Alfa Edison, dan iapun menjawab, “Tuan, maaf! Saya tak pernah gagal. Saya cuma menemukan cara yang tak bisa menbuat bola lampu menyala lewat listrik sebanyak 1448 kali, dan sampai kali ke-1449 kutemukan cara untuk menyalakan bola lampu dengan listrik.” Jadi, dengan 1448 kali kegagalan, apakah Thomas Alfa Edison hanya menggunakan satu cara untuk menemukan lampu yang menyala? Tidak. Thomas di percobaan pertama, gagal. Percobaan berikutnya tentu Thomas mengubah cara untuk menemukan cara mana yang paling pas untuk membuat lampu. Andai Thomas hanya menggunakan satu cara pertama dan gagal, lalu terus dicoba, akankah lampu berhasil ditemukan? Tentu tidak. Artinya, jika kita sudah mencoba satu cara, bahkan dicoba beberapa kali namun tetap gagal dan hasilnya belum memenuhi ekspektasi, maka jangan buang-buang waktu untuk mencobanya kembali. Atau mencoba dengan bertahan pada cara lama yang hanya akan mengulangi kesalahan atau kegagalan yang sama. Tapi cobalah pendekatan baru, yang belum pernah kita coba sebelumnya. Dengan melakukannya maka kita akan mempunyai kesempatan lain untuk berhasil mencapai target daripada hanya mempertahankan cara yang sudah terbukti tidak berhasil. Sama halnya dengan menuju tempat tertentu, ketika kita sudah mengetahui satu jalan yang salah, maka yang harus kita lakukan adalah mencari jalan lain yang akan menujukan ke tempat tersebut, bukan justru mengulangi lewat jalur yang sama. Kisah lain, sebelum Soichiro Honda sukses, perjalanan karirnya dipenuhi oleh kegagalan demi kegagalan. Namun apa yang menjadi rahasia keberhasilannya? Inilah kisahnya. Ayah Soichiro Honda, Gihei Honda adalah seorang tukang besi yang beralih menjadi pengusaha bengkel sepeda. Walaupun Gihei Honda miskin, ia suka pembaruan. Rupanya sifatnya dan juga keterampilannya menangani mesin menurun pada Honda. Sebelum masuk sekolah pun Soichiro sudah senang membantu ayahnya di bengkel besi. Di sekolah prestasinya rendah. Tidak jarang ia membolos. Namun selama hidupnya, Honda terkenal sebagai penemu. Ia memegang hak paten lebih dari 100 penemuan pribadi. Yang pertama ditemukannya ialah teknik pembuatan jari-jari mobil dari logam. Ketika mengundurkan diri tahun 1973, penghasilannya mendekati 1,7 miliar dolar. Walaupun sudah pensiun, nasihatnya masih didengar. Ia mengatakan, "Semua orang menginginkan kesuksesan. Bagi saya kesuksesan hanya bisa diraih dengan kegagalan dan intropeksi diri.” Ternyata rahasia suksesnya adalah melakukan intropeksi diri! Saat gagal dengan cara yang lama, ia berupaya mencari dan menggunakan cara yang lain. Ketika eksperimennya tidak berhasil, ia meneliti kesalahan cara lama yang sudah dilakukan, menganalisis alasan ketidakberhasilan produknya, sehingga lama-lama menemukan sebuah formula sukses yang sebenarnya. Hasilnya, ia muncul sebagai penemu yang hebat dan diakui oleh dunia "Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahannya dan mencoba lagi dalam suatu cara yang berbeda," demikian ujar Dale Carnegie. Dan itulah yang perlu kita terapkan dalam usaha kita mencapai impian kita. Sayangnya tidak sedikit dari kita yang tidak belajar dari kesalahan yang sudah diperbuat. Sudah tahu cara itu tidak akan membuahkan hasil yang baik, namun tetap saja terus dicobanya. Kita beralasan, "Kita harus tekun dan tidak boleh cepat berputus asa bila menemui kendala." Itu memang benar. Setiap pekerjaan harus dibangun dengan ketekunan dan kesabaran, tetapi bukan berarti kita tidak boleh bersikap fleksibel terhadap pekerjaan kita. Jika kita tahu bahwa apa yang kita lakukan salah, keliru, tidak tepat, dan tidak berhenti untuk mengoreksinya, maka sebenarnya kita sudah melakukan kesalahan yang lain. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Confucius, "Seseorang yang melakukan kesalahan dan tidak membetulkannya, telah melakukan satu kesalahan lagi.” Sehingga apabila kita merasa suatu usaha kita baik dalam bekerja maupun belajar ternyata hanya diam di tempat tanpa perkembangan yang justru membuat semakin tertinggal, jangan ragu untuk memutar haluan. Jangan takut untuk mengubah cara untuk mengejar target awal. Jika kita mengharapkan hasil yang berbeda dari hari-hari sebelumnya, maka kita perlu melakukan sesuatu yang berbeda dengan cara yang berbeda. Sebaliknya jika Anda tetap melakukan apa yang selalu Anda lakukan, jangan heran jika Anda tetap mendapat apa yang selalu Anda dapatkan. Sumur Abar, 12/12/2013

Senin, 18 November 2013

SEEKOR BURUNG DAN SAYAP YANG KERDIL

Sumur Abar - Ini adalah kisah yang dialami oleh sebuah keluarga burung. Si induk menetaskan beberapa telor menjadi burung-burung kecil yang indah dan sehat. Si induk pun sangat bahagia dan merawat mereka semua dengan penuh kasih sayang. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Burung-burung kecil inipun mulai dapat bergerak lincah. Mereka mulai belajar mengepakkan sayap, mencari-cari makanan untuk kemudian mematuknya. Dari beberapa anak burung ini tampaklah seekor burung kecil yang berbeda dengan saudaranya yang lain. Ia tampak pendiam dan tidak selincah saudara-saudaranya. Ketika saudara-saudaranya belajar terbang, ia memilih diam di sarang daripada lelah dan terjatuh, ketika saudara-saudaranya berkejaran mencari makan, ia memilih diam dan menantikan belas kasihan saudaranya. Demikian hal ini terjadi seterusnya. Saat sang induk mulai menjadi tua dan tak sanggup lagi berjuang untuk menghidupi anak-anaknya, si anak burung ini mulai merasa sedih. Seringkali ia melihat dari bawah saudara-saudaranya terbang tinggi di langit. Ketika saudara-saudarnya dengan lincah berpindah dari dahan satu ke dahan yang lain di pohon yang tinggi, ia harus puas hanya dengan berada di satu dahan yang rendah. Ia pun merasa sangat sedih. Dalam kesedihannya, ia menemui induknya yang sudah tua dan berkata, “Ibu, aku merasa sangat sedih, mengapa aku tidak bisa terbang setinggi saudara-saudaraku yang lain, mengapa akau tidak bisa melompat-lompat di dahan yang tinggi aku hanya bisa berdiam di dahan yang rendah?” Si induk pun merasa sedih dan dengan air mata ia berkata, “Anakku, engkau dilahirkan dengan sayap yang sempurna seperti saudaramu, tapi engkau memilih merangkak menjalani hidup ini sehingga sayapmu menjadi kerdil.” Hidup adalah kumpulan dari setiap pilihan yang kita buat. Pilihan kita hari ini menentukan bagaimana hidup kita di masa depan. Kita memiliki kebebasan memilih tetapi setelah itu kita akan dikendalikan oleh pilihan kita, jadi berpikirlah sebelum berbuat, sadari setiap konsekuensi dari pilihan yang kita buat. Sumur Abar, 18/11/2013

Rabu, 17 Juli 2013

FRESH GRADUATE UNTUK SEBUAH PENGABDIAN



Sumur Abar - Produk kelulusan mahasiswa dari perguruan tinggi tentu membawa dampak terhadap daya serap lulusan sebagai tenaga kerja baru atas peluang kerja yang tersedia. Kondisi seperti ini tak akan pernah selesai karena akan selalu dihasilkan lulusan baru setiap tahunnya, baik dari PTS ataupun PTN. Lulusan dari PTN pertahun mencapai 625 ribu orang, 80 persen di antaranya berada di Jawa. Para lulusan ini cenderung tidak memenuhi kebutuhan industri.

Jika data tahun 2010-2011 saja tercatat ada 4.337.039 mahasiswa di Indonesia, 58% kuliah di PTS dan 42% di PTS dengan kategori PTN baik dan besar 79% ada di Jawa, dan PT dengan kategori sedang hanya 21% ada di luar Jawa, maka dapat dipastikan bahwa empat tahun ke depan yang akan datang lulusan baru PT akan berada di atas angka 1 juta.

Dari catatan dunia kemahasiswaan terhadap stakeholder pengguna tenaga kerja lulusan PT, ternyata selama ini sering mengeluhkan kemampuan softskill tenaga kerjanya. Lantas kriteria tenaga kerja seperti apa yang dibutuhkan? Dalam persaingan global saat ini, kebutuhan tenaga kerja profesional dengan kemampuan softskill yang baik sudah menjadi tuntutan yang wajib dimiliki. Tenaga profesional yang demikian ini tidak lagi sekedar memiliki skill dan kecerdasan emosional, namun juga diperlukan juga kemampuan softskill yang sudah terasah lama sejak menempuh studi, sehingga tidak instan dan asal ikut pelatihan.

Bagaimana dunia pendidikan kita mendorong dihasilkannya produk pendidikan yang mampu menjawab tantangan global? Undang-Undang no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menjelaskan dalam pengertian pendidikan, yaitu: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian dirim kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinyam masyarakat, bangsa dan negara. Lalu bagaimana fakta yang ada dalam dunia pendidikan kita? Jujur harus kita katakan bahwa produk pendidikan kita belum mencapai seperti yang tertuang dalam UU 20/2003 tersebut.

Hasil survei tahun 2010 diketahui bahwa sebanyak 83,18 persen lulusan PT berharap menjadi karyawan, 60,87 persen lulusan sekolah menengan menginginkan menjadi karyawan juga. Dan yang bercita-cita menjadi pengusaha, untuk lulusan PT untuk sementara hanya 6,14 persen, sementara lulusan SMA hanyab 22,63 persen, sedangkan jumlah pengangguran sebanyak 8 juta orang. Angka ini menjelaskan kepada kita bahwa dunia pendidikan belum sepenuhnya mampu mendorong terciptanya para lulusan yang siap turun di dunia kerja secara mandiri. Belajar dari bangsa yang sudah maju memang semuanya berangkat dari kerja keras untuk tujuan membangun kemajuan bangsanya. Dan menjadi bansga yang maju merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia.

Salah satu faktor yang mendukung bagi kemajuan adalah pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan sehingga untuk mengukur suatu bangsa itu maju atau terbelakang dilihat dari bagaimana kemajuan dunia pendidikannya, sebab pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Apabila generasi yang dicetak outputnya bagus, pasti SDM yang dihasilkan bagus, namun apabila output proses pendidikan gagal, maka sulit mencapai kemajuan.

Kehadiran para fresh graduate untuk memajukan Indonesia sangat dinantikan, khususnya membangun dan memajukan dunia pendidikan guna mengubah keadaan pendidikan di negeri ini sesuai harapan menuju mekajuan yang merata di seluruh negeri. Kiprah fresh graduate di dunia pendidikan ini tdiak berhenti bahkan hilang karena harapan imbalan yang belum pantas dan layak diterimanya karena jumlah tidak sesuai harapan, tapi harus lebih mengedepankan rasa tanggungjawab yang ditumbuhkan secara profesional untuk memajukan bangsa. Imbalan atas kinerja di bidang pendidikan saat ini sedang di proses untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, apalagi kita sendiri yang mengatakan jer basuki mawa bea.

Jujur harus dikatakan bahwa dunia pendidikan di Indonesia memasuki tahun 90-an mengalami lompatan kemajuan yang luar bisa di berbagai jenjang pendidikan. Apalagi perkembangan tekhnologi di era modern saat ini sangat mendukung terbukanya informasi yang dibutuhkan dunia pendidikan. Seiring dengan dukungan tekhnologi, dalam dunia pendidikan, pekerjaan rumah membangun SDM bangsa yang berdaya saing global membutuhkan piranti-piranti yang mampu menciptakan kader bansga yang kuat pada setiap jenjang pendidikan. Itulah gerbang pengabdian  para fresh graduate yang dinantikan di dunia pendidikan.

Sumur Abar, 17/7/2013

Selasa, 07 Mei 2013

GRATIS BUKAN BAHASA PENDIDIKAN



Sumur Abar - Mutu pendidikan yang berkualitas disinyalir menjadi kunci dari permasalahan bangsa Indonesia terhadap lemahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Praktis, Indonesia masih berkutat pada status “negara berkembang” dan tak mampu beranjak merangkak naik untuk mengelola kekayaan alamnya sendiri. Mengenai kualitas pendidikan ini, terdapat berbagai permasalahan yang melingkupinya, mulai dari pendidikan yang rumit, kualitas siswa yang rendah, mutu pendidik yang kurang, biaya pendidikan mahal hingga kebijakan UU pendidikan yang kacau.

Akhirnya, gerakan pendidikan gratis menjadi brandsmark yang didengung-dengungkan akan menjadi solusi atas permasalahan pendidikan di Indonesia. Target wajib belajar selama sembialn tahun yang dicanangkan pemerintah pun disinyalir akan lebih mudah tercapai. Kondisi ini akhirnya memicu munculnya kebijakan pemekaran anggaran bagi pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Kebijakan ini akhirnya memunculkan berbagai program pendidikan gratis yang ditargetkan kepada sekolah-sekolah, terutama sekolah non-favorit, untuk dapat menyelenggarakan pendidikan gratis tanpa memungut biaya apapun dari wali siswa.

Harus diakui memang, sepintas kebijakan ini cukup baik untuk mampu menjawab permasalahan-permasalahan pendidikan semisal akan berkurangnya beban wali siswa untuk pembiayaan pendidikan serta tidak akan ada lagi siswa yang harus kena skors gara-gara nunggak bayar SPP.
Namun apabila dicermati lebih dalam, program murni pendidikan gratis justru rentan menambah permasalahan, target mulai yang diusung menyimpan bara dalam sekam. Justru, dengan program pendidikan gratis akan mematikan esensi dari cita-cita luhur pendidikan yaitu menciptakan pelajar yang mandiri, kreatif dan produktif.

Sesungguhnya, kualitas pendidikan menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang memiliki kesungguhan dalam belajar. Karakter yang kuat dan mentalitas yang tangguh merupakan bagian dari target pendidikan selain mencetak keunggulan intelektualitas dan keanggunan moralitas. Masalah biaya justru akan memacu sebagai tantangan dalam belajar para peserta didik. Memberikan pendidikan gratis secara cuma-cuma justru hanya akan mencetak generasi muda yang instan, hanya suka jalan pintas dan mental gratisan. Pengalaman menunjukkan bahwa pendidikan gratis mampu melemahkan semangat belajar dan rasa tanggungjawab untuk bekerja keras terhadap pendidikannya.

Selain itu, permasalahan tentu ada pada diri orangtua yang akan mulai kehilangan rasa tanggungjawab terhadap beban belajar anaknya. Praktis, nilai kepuasan dan tanggungjawab serta rasa memiliki akan luntur. Kemudian kebijakan pendidikan gratis akan turut memberikan sekat dan memisahkan komunikasi antara sekolah dan pihak orangtua siswa.

Maka, seharusnya pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah harus dilakukan dengan syarat, dan bukan cuma-cuma. Ini agar mencetak generasi yang pekerja keras, kreatif, bertanggungjawan, dan bermental baja untuk bersaing dalam dunia yang lebih luas.

Artinya, program pendidikan gratis bisa dialihkan sebagai dalam bentuk pemberian beasiswa yang lebih banyak dan aktif, seperti beasiswa bagi pelajar berprestasi di berbagai bidang untuk memompa berbagai bakat dan minat yang dimiliki pelajar. Bantuan pemerintah tidak seharusnya untuk menutupi semua kebutuhan secara menyeluruh, namun tetap sisakan ruang bagi orangtua siswa untuk memenuhi kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai wali siswa. Sehingga dengan kebijakan ini justru berbagai target yang dicanangkan akan secara massif terwujud seperti penyelenggaraan pendidikan gratis bagi siswa berprestasi di berbagai bidang, menciptakan pelajar kreatif dan bekerja keras serta berdaya saing, dan terwujudnya pendidikan yang berkualitas tanpa membebani orangtua siswa.

Sumur Abar, 7/5/2013

Minggu, 17 Maret 2013

LOUISE BRAILLE : The Boy Who Invented Books For The Blind

Sumur Abar - Louis Braille adalah anak Simon Braille, pembuat pakaian kuda terkenal. Louis lahir 4 Januari 1809 di Coupvray, sebuah desa di Prancis. Sejak menjadi buta di usia tiga tahun akibat kecelakan di bengkel kerja ayahnya, semua menjadi tidak mudah bagi Louis. Kala itu sangat sedikit yang bisa dilakukan orang-orang buta di Prancis. Sebagian besar hanya menjadi pengemis. Pada awalnya orang tua Louis pun sangat kasihan kepada anak mereka yang buta. Mereka cenderung melindungi secara berlebihan, bahkan memanjakan. Namun, kemudian mereka berpikir, Louis harus tumbuh seperti anak-anak lain. Mereka tidak ingin Louis seperti anak-anak buta lain yang takut melakukan apa pun. Pelajaran Orang Tua Louis Kesadaran untuk membuat Louis bisa seperti anak-anak bermata awas pun mulai diwujudkan. Mereka mulai mengajari Louis mengenali lingkungan rumahnya, hingga tidak lagi menabrak benda-benda ketika berjalan. Ayahnya mengajarinya bekerja menghaluskan kulit di bengkel. Louis memang tidak dapat melihat, tapi dia bisa merasakan kehalusan kulit dengan jarinya. Begitu pula ibunya. Setiap malam, Louis membantu ibunya menyiapkan meja sebelum makan malam. Louis tahu benar di mana harus meletakkan piring, mangkuk, dan gelas. Louis juga harus pergi ke sumur mengambil air untuk minum dengan ember melalui jalan kecil berbatu. Sering air di embernya tumpah karena ia tersandung batu-batu. Namun, Louis tetap harus kembali dengan ember berisi air. Ayahnya lalu membuatkan tongkat dan mengajari Louis mengunakannya. Louis mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah di hadapannya ketika berjalan. Dan, jika ujung tongkat menabrak sesuatu, tahulah ia, saatnya untuk berhenti dan minggir atau berjalan di sampingnya. Dalam perkembangannya, Louis juga berhasil menemukan cara sendiri agar tidak menabrak saat berjalan, yaitu dengan bernyanyi atau bersenandung. Dengan bersuara, Louis dapat merasakan jika ada benda-benda di hadapannya, dinding, pintu, atau lemari; gema suaranya akan terpantul kembali lebih cepat jika ada benda-benda di hadapannya. Ia belajar dari apa yang dilakukan kelelawar. Meski tidak dapat melihat dengan jelas, kelelawar dapat terbang di malam gelap karena terbang sambil bersuara. Begitu juga halnya dengan cara Louis mengenali lingkungan di sekitarnya. Ia senantiasa bisa menemukan cara untuk membuat dirinya semakin hari kian pandai mengenali dan membedakan; suara orang-orang, langkah kaki kuda, dan lain-lain. Ia hidup dengan mengandalkan tanda-tanda yang dia tetapkan sendiri. Ini semua tidak lepas dari peran orang tua yang sedini mungkin mengajarkan pada Louis segala hal yang dilakukan orang-orang yang tidak buta. Namun, Louis harus melakukannya dengan cara yang sedikit berbeda. Pendeta lalu mencoba menitipkan Louis belajar di satu-satunya sekolah di Coupvray. Semula Louis bisa mengikuti semua pelajaran dengan baik, dengan cara mendengarkan. Louis pun senang karena bisa bersekolah. Namun, saat guru meminta murid-murid “membuka buku”, Louis sedih, karena tak ada yang bisa ia lakukan. Sesekali ia meraba-raba saja buku temannya, tapi tak ada yang bisa ia baca di sana. Untuk mengatasinya, kadang Louis meminta teman-temannya membacakan buku untuknya. Tentu saja ini sangat tergantung pada kesediaan mereka meluangkan waktu. Di saat seperti ini, satu-satunya yang Louis pikirkan adalah betapa menyenangkan jika dapat membaca buku sendiri. Keinginan dan kesadaran akan pentingnya menulis dan membaca terus menuntun Louis, hingga saat Pendeta Palluy berhasil membantu menemukan The Royal Institute Of Blind Youth, sekolah untuk tunanetra di Paris. Sekolah ini kemudian menjadi tempat Louis belajar dan bekerja, serta menciptakan alfabet berbentuk titik-titik timbul untuk para tunanetra. Keberhasilan Louis memang tak bisa dilepaskan dari dukungan orang-orang di sekitarnya. Orang tua, pemuka agama di desanya, guru, serta teman-temannya saat bersekolah di Coupvray dan di Paris, teman sesama guru dan kepala sekolah sebagai pemimpinnnya saat telah bekerja, para pemuka masyarakat yang peduli pada pendidikan anak-anak tunanetra, dan yang merupakan keharusan adalah dukungan pemerintah Prancis dengan mengakui huruf Braille ciptaan Louis secara resmi. Itu semua bisa terjadi karena Louis juga menunjukkan keinginan luar biasa untuk mencapai kemajuan, bahkan membuat perubahan. Louis mengerti benar apa yang orang-orang buta pada umumnya butuhkan, dan ia berjuang untuk mewujudkannya. Ia terus mencoba dan berusaha. Bahkan, tidak putus asa meski semua buku hasil tulisan tangannya sempat dimusnahkan. Rasa sedih, marah, dan kecewa karena tidak atau belum mendapatkan tanggapan yang diinginkan juga sering dirasakannya. Namun, keinginannya agar tunanetra di seluruh dunia dapat menulis dan membaca buku sehingga dapat menjadi orang-orang yang berpendidikan, mengalahkan segala perasaan yang tidak menyenangkan itu. Bahkan, rasa sakit akibat tuberculosis pun tak menghentikannya untuk terus melangkah. Kini, 185 tahun setelah Louis Braille menciptakan huruf Braille, cita-citanya masih belum sepenuhnya tercapai. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, masih banyak anak tunanetra belum bersekolah saat usia mereka sudah memasuki masa duduk di kelas. Mereka belum mengenal huruf, apalagi membaca. Mereka yang sudah dapat membaca pun masih belum dicukupi dengan buku-buku yang diperlukan. Masih dibutuhkan ratusan Louis Braille, ribuan Pendeta Palluy, Dr Pignier, Joseph Gaudet, bahkan orang seperti Dufau, di seluruh penjuru bumi. Louis Braille telah memberikan teladan kepada kita semua bahwa diperlukan kerja sama untuk mewujudkan impian. Di era dengan dukungan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, seharusnyalah upaya meneruskan perjuangan Louis Braille agar para tunanetra dapat menjadi manusia berpendidikan bukanlah hal yang terlalu sulit. Diperlukan upaya bersama, kegigihan, ketekunan, serta komitmen dan konsistensi semua pihak, seperti yang dicontohkan Louis Braille. Sumur Abar, 17 Maret 2013

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More