Kamis, 15 Desember 2011

MENELADANI ESENSI PERJUANGAN SONDANG HUTAGALUNG



Sumur Abar - Mahasiswa adalah nafas zaman, sosok intelektual muda yang diharapkan bangsanya untuk mampu membawa peran dalam setiap peristiwa yang terjadi di tengah berbagai dinamika kehidupan. Tak bisa dipungkiri, dalam catatan historis mahasiswa selalu memegang peranan penting di hampir setiap transformasi sosial dan perjuangan meraih cita-cita suatu bangsa. Dalam lintas sejarah bangsa Indonesia, kita akan melihat begitu dominannya peran mahasiswa dalam melakukan perubahan yang dimulai dari kebangkitan nasional 100 tahun silam, sumpah pemuda, kemerdekaan republik Indonesia, tumbangnya orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun hingga lahinya orde reformasi. Sejarah mengatakan tanpa mahasiswa negeri ini tidak akan menikmati kemerdekaan dan akan terus menerus hidup dalam ketidakadilan bahkan penindasan.

Namun pasca 66 tahun kemerdekaan secara de facto, Indonesia hanya merasakan kemerdakaan sebatas formalitas belaka, secara esensi bangsa terbesar di Asia Tenggara ini belum merasakan makna kemerdekaan Indonesia yang seseungguhnya. Bukan akibat penjajahan kaum sepilis negara-negara lain, akan tetapi justru penjajahan kali ini naifnya dilakukan oleh anak bangsa sendiri, korupsi, kolusi dan nepotisme tak kunjung berhenti melanda dan merepresi keberadaan kemerdakaan bangsa ini, keadaan politik, ekonomi, sosial-budaya, militer, kekuasaan praktis tak menunjukkan perkembangan berarti, cenderung stagnan dan bahkan mengalami degradasi semakin ke belakang.

Setali tiga uang, mahasiswa yang diharapkan peranannya sebagai agen perubahan pun mengalami stagnasi pergerakan yang hebat, vis a vis pasca catatan brilian yang ditorehkan para mahasiswa orde baru itu praktis mahasiswa kini lebih teruforia oleh kesuksesan sejarah pergerakan para pendahulunya daripada membangkitkan semangat menciptakan sejarah baru, mahasiswa yang dikenal sebagai sosok yang radikal dan revolusioner tak lagi mampu menunjukkan eksistensinya dan cenderung hanya melakukan aksi demonstrasi oportunis yang tak memiliki tujuan, komitmen dan semangat perjuangan yang jelas, padahal dengan demonstrasi kecil-kecilan tersebut fungsinya hanya menambah pekerjaan aparat keamanan saja tanpa ada efek atau pengaruh signifikan terhadap perubahan kebijakan pemerintah dan nasib bangsa.

Mungkin hal inilah yang dilihat oleh Sondang Hutagalung, mahasiswa UBK yang melakukan aksi bakar diri di depan Istana negara beberapa waktu lalu. Secara sepintas aksi ini terlihat ekstrim bahkan sia-sia membuang nyawa hanya sekedar “mendapat perhatian dari presiden”, tapi memang haruskah dengan melakukan aksi bakar diri agar mendapat perhatian dari pemerintah?

Secara langsung aksi ini mengingatkan pada sosok Muhammad Bouazizi, seorang pedagang kaki lima di negara Tunisia yang melakukan aksi serupa, bakar diri. Hanya bedanya aksi bakar diri itu benar-benar efektif mampu membakar semangat perjuangan rakyat yang akhirnya menghasilkan sebuah revolusi terjadi di Tunisia. Namun, akankah kejadian serupa (revolusi) akan terjadi di Indonesia?

Sepertinya kejadian serupa akan sulit terjadi, alih-alih mengharapkan misi perjuangan sebagaimana rakyat Tunisia, di Indonesia bahkan masyarakat mayoritas hanya memberikan simpati dan merasa iba tanpa ada aktualisasi atau turut melakukan aksi yang berarti, atau justru kejadian ini hanya dilihat sebagai adegan bunuh diri sia-sia. Padahal kalo boleh jujur, pergerakan revolusioner bisa jadi satu-satunya cara meruntuhkan hegemoni kekuasaan para tikus yang memimpin negeri ini, seperti saat mahasiswa melengserkan kekuasaan rezim Soeharto. Mengapa? Kuncinya adalah paradoks SBY yang pintar melakukan pencitraan di tengah amburadulnya sistem pemerintahan dan kualitas moral para pejabat, hegemonik rezim SBY-Budiono sangat kuat sehingga mampu mengalienasi rakyat Indonesia untuk menerima keadaan yang diciptakan oleh rezim secara sukarela, praktis hanya ada segelintir dari mahasiswa yang masih berani menyuarakan aspirasinya meski hanya sebatas demonstrasi bar-bar kecil-kecilan tanpa makna.

Sehingga terlepas dari penilaian negatif aksi bakar dirinya, Sondang Hutagalung layak mendapatkan apresiasi khusus yang mampu tetap memiliki semangat juang yang tak dapat ditampik lagi ditengah kelesuan pergerakan mahasiswa, Sondang memiliki cara tersendiri untuk melakukan perlawanan, aksi bakar diri ini sesungguhnya menunjukkan bentuk protes dan sikap putus asa aktivis mahasiswa melihat kepemimpinan negeri ini. Bagi Sondang secara khusus sebagai aktivis Sahabat Munir dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), aksi ini merupakan bentuk keresahannya di tengah carut-marut kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang kian merepresi pemerintahan ini yang tak bisa hanya dengan melakukan aksi dan tuntutan perubahan. Aksi Sondang patut dimaknai sebagai usaha untuk menggertak semangat perjuangan mahasiswa untuk kembali menunjukkan eksistensinya dan mereposisi peranannya ditengah carut-marut pemerintahan rezim SBY ini.

Mereposisi Peranan Mahasiswa
Mahasiswa sebenarnya menduduki posisi strategis yaitu sebagai seseorang stake holder, yang mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah atau bahkan mengkritik kebijakan pemerintahan. Dengan kekuatan intelektual dan karakter mereka yang mendalam tentang berbagai fakta yang terjadi, mahasiswa adalah pihak yang seharusnya paling peka terhadap perkembangan kondisi masyarakat. Sayangnya budaya pragmatis telah melenakan peran utama mahasiswa ini dan menjatuhkan kedudukan mereka.

Sehingga saat ini penting untuk melakukan reposisi peran mahasiswa. Reposisi untuk mengembalikan posisi mereka sebagaimana mestinya yakni membangkitkan dan membangun masyarakat dalam meraih kembali identitasnya yang hilang dan kesadaran sejati pada dasarnya masyarakat membutuhkan mahasiswa yang sanggup membimbing mereka. Mahasiswa yang mampu memetakan potensi dan memberi solusi yang jeli untuk memecahkan berbagai persoalan masyarakatnya. Masyarakat membutuhkan mahasiswa yang sanggup berdiri di hadapan para penindas untuk membela mereka dengan pengetahuan yang benar. Masyarakat membutuhkan mahasiswa yang berani berkorban, berani mengungkapkan kebenaran. Masyarakat membutuhkan mahasiwa sejati yang mampu memahami realita kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Apa sesungguhnya persoalan-persoalan yang terjadi, mengurainya hingga bisa dipahami akar permasalahan yang sesungguhnya. Merekalah mahasiswa sejati yang akan menghentikan penjajahan non fisik hari ini untuk menyelamatkan generasi sekarang dan mendatang.

Sehingga sudah saatnya mahasiwa tidak lagi tereuforia oleh kesuksesan sejarah, dengan meneladani perjuangan mahasiswa pahlawan Sondang Hutagalung kinilah saatnya mahasiswa bangkit dari stagnasi pergerakan dan bangun dari tidur panjangnya untuk kembali mengukir sejarah baru ditengah bangsa yang tengah krisis karakter dan kepribadian, di tengah bangsa yang merindukan supremasi hukum dan esensi kemerdekaan yang nyata. Mungkin sang revolusioner itu telah pergi, tapi namanya tetap hidup dengan warisan semangat perjuangan yang harus dilanjutkan perjuangannya oleh mahasiswa, cepat atau lambat.

Sumur Abar, 15/12/2011

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More